Oleh: Mohammad Anwar
Berbincang
surga dan neraka, sering dikaitkan pada apa yang disebut dalam
al-Qur’an sebagai tempat yang dijanjikan Allah kepada makhluknya yang
beramal shaleh. Dan ketika ada pertanyaan seperti apa
surga dan neraka itu? Dimana tempatnya? Tentu akal tida dapat
menjangkaunya. Kebanyakan orang menjawab bahwa itu merupakan kepercayaan
dalam agama (Islam) dan yang berkaitan dengan kepercayaan tidak untuk
diperdebatkan atau didiskusikan. Yang penting diimani, titik! Pembelaan
diri menjawab: akal kita terbatas, kita tidak bisa menjangkau yang
ghoib-ghoib, percaya saja biar tidak jadi kafir! Atau bahkan murtad.
Pernyataan-pernyataan
awam tersebut, menunjukkan adanya ketakutan untuk menjelaskan surga dan
neraka yang jelas ditertera dalam Qur’an, kecuali sebatas apa yang
disebutkan Qur’an. Lebih dari itu, apa yang disebutkan al-Qur’an tentang
Surga Neraka terkesan tidak bisa dirasionalkan atau dipahami secara
jelas. seperti apa maksud al-Qur’an.
Dalam
tulisan ini, penulis ingin mengeksplor apa yang dimaksud surga dan
neraka itu. Dan tulisan ini juga, lebih fokus pada pembahasan “surga”,
walaupun juga mengungkap sekilas tentang “neraka” sebagai lawan atau
istilah yang sering disandingkan. Tentunya dengan mengkaji berbagai
pendapat yang nantinya tak lepas dari yang dimaksudkan Qur’an. Salah
satunya, pandangan Mulla Sadra. Apakah Surga neraka itu benar-benar
seperti tempat yang indah? Dimana bersifat material atau mungkin
bersifat immaterial.
Pemahaman atas Surga
Sebenarnya “surga, neraka” merupakan terjemahan dari kata jannah dan nar dalam al-Qur’an yang dianggap paling tepat, oleh para penerjemah tentunya. Kata “surga” sendiri berasal dari kata sanskerta, suarga, dari suku kata suar dan ga. Suar artinya cahaya, dan ga artinya perjalanan.[1]
Dengan demikian, pada mulanya surga berarti perjalanan ke dunia cahaya.
Pengertian ini terdapat dalam ajaran Hindu-Budha. Bagaimana dalam
ajaran Islam?
Dalam al-Qur’an (Islam), konsep surga dimaksudkan terjemahan dari kata bahasa arab, jannah - jamak dari Jinan -
yang berarti “kebun, taman”. Ia adalah tempat yang kekal di akhirat dan
diperuntukkan bagi hamba-hamba Allah Swt yang beriman dan beramal
shaleh, tempat yang memberikan kenikmatan yang belum pernah dirasakan
ketika hidup di dunia dan sebagai balasan jerih payah memenuhi perintah
dan menjauhi larangannya.[2]
Dari arti “kebun” itu, tampaknya sangat sesuai ketika Al-Qur’an melukiskan Al-Jannah (surga)
sebagai sebuah tempat yang indah, dipenuhi pohonn-pohon rindang, sungai
yang airnya mengalir jernih dan segala keindahan lainnya. Hal tersebut
dimaksudkan dan juga sejumlah penafsir menggarisbawahi bahwa keadaan di
surga, begitu indah dan nikmatnya sampai tidak terbayangkan oleh
manusia.
Di
dalamnya terdapat segala sesuatu yang memikat dan menyenangkan hati
serta pandangan, di dalamnya terdapat segala sesuatu yang belum pernah
dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga dan belum pernah
terpikirkan oleh akal pikiran. Oleh karena itu, Allah subhanahu
wata'aala berfirman:
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seorangpun
tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu
(bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (As Sajdah: 17).
Sebagaimana
diungkap di atas, surga dan neraka merupakan kelanjutan alami dari
perbuatan baik dan jahat manusia. Secara logis manusia memerlukan
keduanya sebagai balasan amal mereka. Jika beramal sholeh balasannya
adalah surga dan sebaliknya neraka adalah buat orang kafir dan ingkar
terhadap ayat-ayatnya. Ini lebih menjelaskan lagi bahwa surga merupakan
tempat yang bagus dan sebaliknya dengan neraka.
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا (108)
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga
Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak
ingin berpindah daripadanya.” (Al Kahfi: 107-108).
Bentuk Surga
Mengenai
bentuk surga, pandangan dari Islam masih banyak perbedaan. Apakah surga
itu merupakan sesuatu yang baru atau bersifat kekal? Ataukah surga itu
merupakan bentuk spiritual atau bersifat materi/fisik seperti yang
dirasakan di dunia ini? Atau seperti apa?
Secara
umum, sebagaian ulama menyatakan bahwa kehidupan akhirat adalah
kehidupan ruh, bukan kehidupan jasmani. Maka dari itu, dapat dikatakan
bahwa bentuk surga dan neraka bersifat spiritual dan intelektual.
Selanjutnya mereka mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan butir-butir
hadits yang menginformasikan tentang makanan surga, minuman surga, pohon
surga, sungai surga, tidak menunjuk dan mengacu pada makna yang
sebenarnya.[3]
Lebih
dari itu, kenikmatan surga dalam al-Qur’an hanya bersifat spiritual dan
merupakan kias dari kenikmatan yang besar. Meminjam istilah Taufik,
kenikmatan yang bersifat psiko-spiritual akan lebih nyata dan terasa
dibandingkan kenikmatan yang bersifat fisik belaka.
Pandangan
yang lain tentang bentuk surga, datang dari yang berpendapat bahwa
kehidupan akhirat itu bersifat materi. Alasan yang diajukan tentunya
kembali pada al-Qur’an dan Hadits yang memang menginformasikan apa
adanya (tekstual). Otomatis mereka yang menganggap demikian, memahami apa yang ada dan
disebutkan Qur’an tentang makanan dan minuman atau tempat lainnya
bersifat materi. Pendapat ini diwakili oleh Al-Asy’ary yang Jabariyah.
Selain
dua pendapat umum di atas, juga banyak pendapat lain yang berbeda,
sebut saja para filosof yang argumentatif. Mengenai perdebatan bentuk
dan hakikat surga, akan penulis coba jelaskan bab selanjutnya yang
dianggap cukup mewakili.
Surga Menurut Ahlu Sunnah
Ahlus
Sunnah wal Jamah meyakini bahwa Surga dan Neraka adalah makhluk Allah.
Surga disediakan untuk orang-orang yang bertakwa lagi Mukmin. Sedangkan
Neraka disediakan untuk orang-orang kafir. Sebagaimana tercantum dalam
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Al Imam Al Hasan bin Ahmad Al ‘Athar Al Hamadzani dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abi Hatim berkata :
“Aku
bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah radhiallahu 'anhuma tentang
madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka peroleh dari ulama di seluruh
negeri.” Kemudian beliau menyebutkan secara global akidah keduanya dan
berkata : “Surga dan Neraka itu benar, keduanya adalah makhluk, keduanya
tidak akan binasa. Surga sebagai balasan untuk wali-wali-Nya dan Neraka
sebagai hukuman bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya, kecuali
orang yang dirahmati.” (Dzikrul I’tiqad wa Dzammul Ikhtilaf, hlm: 910. Dikutip dari Ibnu Zamain tahqiq Abdullah Al Bukhari, Riyadlul Jannah bi Takhrij Ushulis Sunnah, hlm: 134).
Ahlus
Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Surga dan Neraka sudah ada sekarang
meskipun golongan Mu’tazilah menentang permasalahan ini. Abul Hasan Al
Asy’ari mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan tentang Surga dan
Neraka, apakah keduanya telah diciptakan atau belum. Maka Ahlus Sunnah
meyakini bahwa keduanya telah diciptakan. Sedangkan mayoritas ahlul
bid’ah menyatakan bahwa keduanya belum diciptakan. (Maqalat Al
Islamiyyah, 2/168)[4].
Ibnu
Abil ‘Izzi menyatakan : “Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Surga dan
Neraka adalah makhluk dan sudah ada sekarang. Ahlus Sunnah terus menerus
dalam keadaan seperti itu.” Seorang Imam Ahus Sunnah wal Jamaah di
masanya, yaitu Imam Abu Muhammad Al Hasan bin Ali Al Barbahari (wafat
329 H) menyatakan dalam Syarhus Sunnah : “Kita mengimani bahwa
Surga dan Neraka adalah benar adanya, keduanya adalah makhluk. Surga
berada di langit yang ketujuh dan atapnya adalah Arsy. Neraka di bawah
bumi yang ketujuh. Keduanya telah diciptakan. Allah Maha Mengetahui
tentang jumlah penduduk Surga dan orang yang masuk ke dalamnya dan
jumlah penduduk Neraka. Keduanya tidak hancur dan akan kekal bersama
Allah selama-lamanya.” (Syarhus Sunnah. Al Barbahari. Tahqiq Ar Radadi: 74).[5]
Imam Abu Bakr Muhammad bin Al Husain Al Ajurri (wafat 360 H) mengatakan dalam kitabnya Asy Syari’ah : “Ketahuilah - semoga Allah merahmati kita semua -
sesungguhnya Al Qur’an bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menciptakan Surga dan Neraka sebelum menciptakan Adam as. dan telah
menciptakan bagi Surga penghuninya dan bagi Neraka demikian juga sebelum
Dia menciptakan mereka ke dunia. Orang-orang yang dilingkupi Islam dan
merasakan manisnya iman tidak berselisih dalam hal ini. Hal tersebut
telah ditunjukkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita berlindung
kepada Allah terhadap orang yang mendustakan hal ini.” (Asy Syari’ah. Al Ajurri : 345. dikutip dari Ta’liq Abdul Hamid Faqi).[6]
Sedangkan
kaum Mu’tazilah dengan Qadariyahnya mengingkarinya dan mengatakan bahwa
Allah menciptakan Surga dan Neraka nanti di hari kiamat. Mereka
menyatakan bahwa apabila Surga diciptakan sebelum hari pembalasan, maka
hal ini adalah perbuatan yang sia-sia karena Surga akan kosong dalam
waktu yang lama. Mereka pun menolak dalil-dalil yang membantah pemahaman
mereka. Ini sesuai dengan pemikirannya yang cenderung aqliyah atau yang
berdasarkan akal manusia.
Jika
melihat dengan detail semua keterangan yang dikutip di atas,
orang-orang ahlusunnah masih menguraikan apakah surga itu sudah dicipta
atau belum. Belum secara detail bagaimana bentuk surga dan bagaimana
terciptanya. Disini hemat penulis - selain memang ini merupakan
penjelasan dari kalangan teolog - pendapat tersebut memang sesuai dengan
dogma ahlussunnah bahwa kita hanya wajib mempercayai apa yang disampai
dalam Qur’an. Mereka memahami Qur’an secara tektual apa adanya.
Karena
itu wajar bahwa mereka melihat surga dan neraka seperti apa yang
dijelaskan tekstual dalam Qur’an. Tidak menggunakan dalil rasional
sebagaimana Mu’tazilah. Walaupun Mu’tazilah juga masih berkutat pada
pembahasan sudah diciptanya surga atau belum. Untuk mengatasi kekurang
jelasan pendapat dari kelompok teolog, mungkin tepat jika beranjak
menuju uraian yang lebih bersifat filosofis. Tentunya filsafat Islam
menjadi orientasinya, yang juga tidak mengabaikan sumber wahyu. Dengan
demikian penjelasan dari Mulla Sadra menjadi pilihan penulis terkait
tentang makna surga.
Hakikat Surga Menurut Mulla Sadra
Mulla
Sadra, seperti dalam pemikiran eskatologi sebelumnya selalu mendasarkan
argumennya pada telaah rasional. Selainnya juga dari teks wahyu dan
ucapan para imama. Walaupun argumentasinya mandek pada akhir gerakan
subtansial. Seperti pada umumnya, dalam melihat surga, Mulla Sadra
menggambarkan sebagai sifat yang menunjukkan tempat keabadian dan
keselamatan yang tidak ada kematian, kelemahan, sakit, derita,
kesulitan, kehilangan maupun kelenyapan.
Jelasnya,
Sadra menegaskan bahwa apa yang ada di surga semuanya bersifat intelek
dan sama saja tidak ada materi, gerak, sebab aktivitas, pembaharuan dan
perpindahan karena wujud di surga tiada lain adalah wujud formatif.[7]
Hal ini tampaknya argumentasi rasional tidak menyeluruh masuk dalam
penjelasan hakikat surga. Tapi pendekatan mukasyafah dan nash tampaknya
lebih dominan. Walaupun dia juga mengatakan surga sesuai dengan tingkat
kecenderungan jiwa masing-masing penghuninya.
Untuk
membaca lebih detail lagi hakikat surga Sadra, kiranya perlu diketahui
bahwa Sadra membagi Surga kedalam dua kategori, yaitu Surga Indrawi dan
Surga Intelek. Surga Indrawi adalah surga yang berisikan beragam forma
tanpa materi dan dapat dipersepsikan secara indrawi dan dapat mengalami
perubahan. Sedangkan surga intelektif berisikan forma-forma intelek
(akliah) dan imajinal bercahaya[8].
Kedua kategori ini memperlihatkan pembagian dari kwalitasnya, kualitas
jiwa. Dan penghuninya akan merasakan berdasarkan kwalitas jiwanya.
Pembagian
di atas seperti diungkapkan Khalid, berdasarkan QS 55: 46, yang berarti
“dan bagi yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga”. Dari
sini juga Sadra membagi kelompok yang masuk dalam kategori tersebut,
yaitu kelompok kanan dan kelompok orang-orang yang dekat dan punya
kedudukan sangat tinggi. Artinya, surga neraka merupakan
sebuah produk dari amal atau kwalitas jiwa manusia itu sendiri. Jika
amal seseorang terus dilakukan dengan niat karena hanya untuk diri-Nya,
maka jiwanya akan menjadi suci dan terjaga. Apabila jiwanya selalu dalam kedaan suci, maka dia akan selalu dekat dengan Tuhannya.
Kesimpulan
Berdasarkan
semua penulusuran tentang surga diatas, kesimpulan sementara penulis
akan sedikit meresume. Bahwa benar, surga ( dan neraka) merupakan tempat
yang telah dijanjikan Allah untuk orang-orang yang selalu menghamba
(beramal soleh) pada-Nya. Begitu juga neraka untuk orang-orang yang
membandel (tidak mengikuti firman-Nya) pada-Nya. Oleh karena itu,
keduanya (surga dan neraka) niscaya ada dan wajib diimani oleh semua
makhluqnya. Tapi penulis juga mungkin mendapat kesimpulan yang lebih
setelah konsep (makna) surga bisa ditelusuri lagi (dalam space yang
terbatas).
Jika
lagi-lagi ingin mengacu pada filosof, seperti Ibnu Shina: maka sebelum
membahas surga ia menawarkan bahwa harus dipahami dulu apakah ma’ad
(kebangkitan) itu jasmani atau ruhani dan apa buktinya. Misalnya ma’ad
itu sesuatu yang bersifat ruhani, maka surga juga ruhani. Begitu pun
sebaliknya. Sebagian filosof menganggap surga bersifat ruhani. Walaupun
teks (wahyu; Qur’an) menggambarkan secara jasmani, tapi apa yang
disampaikan teks perlu ditakwilkan. Artinya, mereka menganggap bahwa ada
makna yang “dalam” dibalik penggambaran teks tersebut.
Mendapat
inspirasi dari tawaran Ibnu Sina, kembali pada pembahasan “wujud”
menurut penulis menjadi solusi yang cukup penting. Karena pertama, semua
muslim menyetujui dan meyakini bahwa Surga itu ada. Masalahnya hanya,
bagaimana adanya dan meng-adanya. Ini juga tidak terlepas dari
penjelasan irfan teori tentang wahdatul wujud. Bahwa semua yang ada
adalah “satu” yaitu diri-Nya. Pluralitas ciptaan ini hanya sebuah
cerminan atau manivetasi-Nya. Termasuk manusia sebagai ruh-Nya.
Ruh
manusia bergerak terus menuju penyempurnaan. Dalam istilah Sadra,
“gerak subtansi” (sebagian filosof menentang). Ruh atau jiwa ini berasal
dari_Nya, ketika jiwa ini keluar atau lepas, nantinya pasti rindu ingin
kembali, kembali ke asal muasalnya. Bagaikan rindu akan kampung
halangamannya. Tentu kembalinya melalui proses tingkatan alam. Dari alam
lahut – jabarut – malakut - nashut, dan kembali ke lahut dengan prosesnya masing-masing. Innalillahiwainnaillaihirojiun..
proses (penyempurnaan) menuju jabarut ke lahut, ada pembakaran (inilah
yang dapat diartikan sebagai nerakanya) sampai tidak ada tanda-tanda
nabut yang masih melekat dalam diri.
Penyempurnaan
itulah yang nantinya akan mendapatkan surganya masing-masing.
Berdasrkan kualitas amal setiap orang. Dengan kata lain, surga merupakan
hasil dari masing-masing amal manusia. Berupa kenikmatan yang tak
tergambarkan oleh akal, kecuali kita bisa “merasa” langusng pada objek.
Jadi tidak heran jika surga tersebut terbatasi dengan makna harfiah
(penjelasan teks) dalam qur’an.
Oleh
karena itu, kesimpulan akhir tulisan ini adalah jelas masing banyak
perbedaan dalam memahami makna surga. Karena memang semua kalangan
(teolog-filosof-sufi) mempunyai pendekatan yang berbeda untuk melihat
itu. Makanya, penulis dalam hal ini lebih cenderung ke pemahaman dari
irfan dengan penjelasan filsafat. Artinya, walaupun totalitas pemahaman
akan surga sulit dicapai, setidaknya dapat dipahami secara sederhana
dengan pendekan rasional.
Agar
tidak terjadi pengertian bahwa surga neraka itu sebuah tempat dengan
berbagai keindahnnya, sentuhan logis penting digunakan. Surga akan
muncul dengan sendirinya sebagai konsekwensi perbuatan manusia. Semakian
tinggi kwalitas amal yang dikerjakan semakin tinggi juga kwalitas surga
yang dihasilkan. Seperti disebutkan surat al-Kahfi :108 diatas, bahwa
firdaus sebagai simbol kwalitas surga yang tinggi. Bahkan karena ruh itu
terus berjalan (penyempurnaan) dari sebelum kiamat, surga dan neraka
dalam pengetian yang beda sudah menyertai amal manusia di dunia ini dan
berproses dari sekarang menuju pada-Nya.
Sehingga akhirnya penulis setuju dengan apa yang disuguhkan dalam karyanya Achmad Chodjim, “Membangun Surga”. Bahwa
makna surga tidak melulu dinisbatkan pada sebuah tempat di akhirat
nanti untuk orang-orang yang terpilih atau beramal shaleh. Tapi juga
dimaknai semacam keindahan dan tenang didalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar